Pada tahun 1999, seorang pelajar SMA bernama Ribut memulai perjalanannya sebagai penjual kopi. Ia memulai dengan cara paling sederhana: lesehan. Namun benih inspirasi yang sesungguhnya baru tumbuh beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 2007, ketika ia melihat sang kakak berjualan kopi gendong di kawasan Alun-alun Jember. Dari sana, semangat itu benar-benar menggebu. Maka lahirlah KOPLING (Komunitas Kopi Keliling) pada hari Kamis Pahing, 25 Desember 2008.
Nama KOPLING kerap memancing tanya. “Kok komunitas, tapi anggotanya cuma satu orang?” Begitu kira-kira komentar yang sering mampir. Tapi bagi Pak Ribut, begitu kami biasa memanggilnya, KOPLING bukan semata soal jumlah. Nama itu ia pilih karena ia senang berbaur dan berkumpul bersama berbagai komunitas: motor, seni, musik, hingga sastra. Harapannya, KOPLING tak hanya jadi tempat ngopi, tapi juga ruang untuk bertemu, titik lintas jalan bagi orang-orang dari berbagai latar belakang dan kesukaan.
Trayek harian KOPLING menjangkau berbagai titik di kota Jember, khususnya sekitar kawasan kampus. Mulai dari Jl. Jawa sampai Jl. Kalimantan. Pada malam hari, Pak Ribut biasanya standby di Alun-alun, tepat di trotoar depan patung PEMDA.
Meski KOPLING dijalankan seorang diri, bisnis ini telah menjadi tumpuan hidup bagi Pak Ribut. Di balik label CEO KOPLING yang ia sandang dengan senyum lebar, ia juga memikul peran lain sebagai petugas kebersihan. “Ya, meskipun saya keliling, saya juga harus menjaga kebersihan tempat saya berjualan,” ujarnya sambil tertawa renyah.
Pak Ribut tak lupa dengan wajah-wajah pelanggan lamanya, termasuk para mahasiswa yang dulu sering ngopi sambil “ngutang.” “Sebenarnya saya nggak niat ngutangi, tapi kalau yang ngopi anak sekolah atau mahasiswa, rasanya kasihan. Saya sering teringat anak saya, ponakan-ponakan saya,” kenangnya, dengan nada yang lembut tapi tegas.
Bagi Pak Ribut kunci dari loyalitas pelanggan adalah sikap baik dan pelayanan yang tulus. Ia percaya bahwa memperlakukan orang lain dengan hormat akan membawa balasan yang sama, walaupun tak semua orang akan selalu membalas kebaikan itu. Namun, ketulusan tetap menjadi prinsip yang tak bisa ditawar dalam menjalankan usahanya.
Di tengah menjamurnya kafe-kafe estetik dan tempat nongkrong kekinian, Pak Ribut tak merasa gentar. Ia justru termotivasi untuk beradaptasi. Menu baru terus ia kembangkan, disesuaikan dengan selera zaman. Tapi tetap, semua ia racik sendiri, penuh semangat uji coba dan eksperimen. “Kalau nggak percaya, coba wes beli,” candanya sambil tertawa lepas.
Tak hanya berjualan, Pak Ribut juga menggagas sebuah kegiatan yang ia beri nama Arisan KOPI. Kegiatan ini ia selenggarakan rutin sebagai upaya menjadikan KOPLING bukan sekadar penjual kopi keliling saja, tetapi juga sebuah rumah. Tempat di mana sesama penjual kopi keliling bisa berbagi cerita, saling mendukung, dan membentuk ikatan emosional yang erat. Sebuah paguyuban kecil yang hidup dari semangat solidaritas.
“Arisan ini bukan sekadar ngumpul. Saya ingin menjadikan KOPLING dan kegiatan ini sebagai keluarga. Tempat pulang. Tempat berbagi,” kata Pak Ribut.
Menjadi bagian dari KOPLING bukan hanya soal menjual dan membeli kopi. Ini tentang bertemu orang baru, mengenal cerita mereka, dan menemukan saudara-saudara baru di tengah lalu lintas kota yang riuh. Bahkan bagi kami yang sekadar menjadi penikmat, KOPLING adalah ruang di mana obrolan dan kehangatan bisa tumpah dari gelas-gelas sederhana.
Sebagai penutup, Pak Ribut bercerita tentang impiannya: memiliki mini cafe KOPLING. Tempat kecil tapi hangat, tempat di mana semangat kopi keliling bisa tinggal menetap. Mimpi itu ia rawat dengan penuh syukur dan dukungan dari keluarga.
Semoga selalu mengudara di jalanan kota!