Papa Acid adalah unit band rock asal Jember, nyel. Terbentuk dari semangat bermusik yang mendidih, dengan dorongan kuat untuk menghadirkan penyegar rasa dalam lanskap musik lokal yang kian padat namun terasa hambar. Band ini beranggotakan lima personel, yang awalnya bertemu dari latar belakang dan profesi berbeda. Soal siapa saja mereka dan memegang alat apa, cek langsung Instagram-nya. Biar lebih afdol.
Sebagai band Rock N’ Roll, tentu slogan klasik “Sex, Drugs & Rock N’ Roll” sudah tak asing. Tapi Papa Acid tidak serta-merta mengamininya sebagai pilihan jalan hidup. Mereka lebih senang jadi bocah santun. Santun, tapi tetap berani. Bocah yang mencoba mengusung perspektif lain, lebih dekat ke keresahan zaman. “Nakal memang pilihan, tapi doa ibu selalu terdepan,” ujar salah satu personel sambil menawari kami secangkir Americano.
“Keresahan kami sebenarnya kami tulis di lagu Saray, Mas. Ya, kami bisanya cuma lewat musik. Kebetulan lagu ini salah satu yang pakai Bahasa Indonesia. Biar lebih nyampe aja,”
ungkap Jeremie, salah satu pentolan Papa Acid.
Lagu Saray memang terasa lebih mudah dicerna dibanding karya mereka lainnya. Easy listening, tapi tetap menggigit. Lagu ini bicara soal maraknya pelecehan seksual daring, isu nyata yang meninggalkan trauma panjang bagi korban. Lewat Saray, Papa Acid mencoba menyadarkan bahwa dunia bisa bekerja dengan cara yang kejam, dan bahwa anak muda sekarang perlu lebih waspada dan peduli dengan pola pergaulannya.
Tahun lalu (2023), kami sempat diundang ke acara album release party mereka. Sebelum berangkat, kami bertukar pesan dengan Nuran Wibisono, seorang kakak jurnalis dan penulis musik yang kebetulan juga wong Jember.
“Iki rodok bedo ambek band-band Jember liyane. Aku sing pertama kali ngrungokno ae langsung seneng,” ucap Kak Uyan, begitu kami biasa memanggilnya.
Album mereka yang berjudul Nice Boys Who Play Rock N Roll, terinspirasi dari buku karya Nuran Wibisono sendiri, Nice Boys Don’t Write Rock N Roll. Album ini memuat sembilan track yang mengusung tema besar soal perlawanan terhadap sistem, hak asasi manusia, hingga retorika konstitusi yang makin keropos.
Seperti lava mendidih yang hendak mencari celah keluar dari bibir gunung, lagu “The Unforgotten” jadi salah satu trek yang penuh daya ledak. Lagu ini mengingatkan kita pada rentetan sejarah kelam bangsa: Munir, Marsinah, Wiji Thukul, tragedi ‘65, hingga amarah reformasi 1998. Papa Acid tak sekadar menyinggung, mereka menuntut kita bertanya ulang tentang keadilan yang runtuh, tentang konstitusi yang lapuk dari Orde Baru sampai hari ini.
Tahun ini (2024), mungkin jadi tahun terakhir mereka menetap di Jember, menyusul rencana hijrah musikal mereka ke Jakarta. Tapi tidak apa-apa,karena mendukung mereka berarti percaya bahwa musik yang baik harus terus tumbuh. Jangan jadi pecundang yang berhenti mendengarkan hanya karena mereka tak lagi sekota.
“Di setiap panggung, kami selalu mengenalkan bahwa Papa Acid adalah band dari Jember. Akan selalu seperti itu. Enggak akan berubah,” tambah Jeremie.
Bagi Papa Acid, Jember bukan sekadar titik mula. Mereka menyebutnya sebagai Jembatan Bermusik. Kota kecil di timur Jawa ini, yang kadang bikin geleng-geleng kepala karena kompleksitasnya, justru menjadi tempat di mana semua dimulai. Dan mungkin, dari sinilah jalan panjang menuju surga kecil musik yang Tuhan sembunyikan di antara puing-puing gumuk dan angin yang bau tanah basah akan terbuka.
Papa Acid, buat kami, adalah bocah kecil dari Jember yang sedang asyik-asyiknya bermain Rock N Roll. Dan semoga tak pernah lelah untuk terus bermain.